Daftarsabungayam - Terbetik berita, Walikota Bandung Ridwan Kamil mundur dari gelanggang akan calon Gubernur DKI Jakarta.
Terkecuali Kang Emil, sekian petinggi umum ini umum disapa, mundur juga Walikota Surabaya Tri Rismaharini serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Argumen mundur tidak sama. Kang Emil konon mendengar hasrat warganya supaya tetaplah bangun Kota Bandung. Tri idem ditto. Argumen Ganjar agak unik, “Wong, saya (telah) jadi gubernur, masak jadi gubernur lagi? ”
Alhasil, tiga petarung tangguh mundur nyaris berbarengan bahkan juga sebelumnya kompetisi di gelar. Untuk pemirsa, mundurnya ketiga kepala daerah berprestasi itu sungguh begitu mengecewakan. Pilkada DKI Jakarta yang akan di gelar th. depan telah kehilangan greget mulai sejak awal.
Seperti turnamen catur, ketiganya mundur bukanlah ketika kompetisi bakal diawali atau waktu pertarungan tengah berjalan. Mereka tak mundur lewat panitia kompetisi lantaran memanglah belum terbentuk, tetapi memperhitungkan hal-hal lain.
Kalau sederet nama telah menyemarakkan bursa pencalonan, itu yaitu bunga-bunga yang memperindah taman demokrasi. Namun pasti taman itu bakal sepi serta bunga kehilangan keindahannya.
Tak ada yang melarang. Semuanya warga negara Indonesia bisa punya mimpi jadi Gubernur DKI, satu jabatan umum yang paling bergengsi diantara 33 Gubernur yang lain diluar Jakarta.
Demikian pula Basuki Tjahaja Purnama dengan kata lain Ahok, bisa punya mimpi kembali jadi Gubernur DKI yang dalam khasanah turnamen, memiliki hak menjaga mahkota juaranya. Tidakkah petarung sejati itu seorang yang bersedia menjaga mahkota juaranya?
Siapa yang suka dengan mundurnya ketiga petarung itu? Bisa jadi mereka bertiga lantaran dengan tak diduga-sangka segera memperoleh poin yang baik.
Orang dengan dan merta tak menyamai mereka dengan walikota yang lain yang tuturnya tak amanah lantaran tak merampungkan jabatannya akibat tergiur jadi petinggi yang lebih tinggi. Apakah salah mengabdi pada orang-orang yang lebih luas?
Jadi menarik mengulik segi psikologis beberapa “bunga-bunga demokrasi” yang menyemarakkan bursa akan calon gubernur selepas mundurnya tiga petarung itu. Bohong bila mereka tak suka.
Berdasar pada perhitungan taktis, dengan mundurnya tiga petarung mungkin persaingan jadi menyusut, mengingat ada belasan nama yang sekarang ini telah jadi “bunga-bunga demokrasi” Pilkada DKI Jakarta.
Lalu, apakah Ahok suka dengan mundurnya mereka mengingat jajak pendapat tunjukkan sebagian diantara mereka elektabilitasnya cukup lumayan walau belum menyamakan dianya?
Bohong bila Ahok tak suka. Sebagai petinggi petahana yang masihlah semangat menjaga jabatannya, Ahok pasti suka. Masalah greget Pilkada menyusut, itu bukanlah masalahnya. Sekurang-kurangnya, kompetitor yang punya potensi membayanginya telah tak ada lagi.
Pertanyaannya saat ini ; siapa akan calon gubernur yang lain yang akan memepet elektabilitas Ahok pasca mundurnya “trio petarung” tangguh itu?
Elektabilitas yaitu momok. Angka-angka statitistik itu sering menohok. Tentunya momok serta menohok untuk beberapa kompetitor Ahok yang elektabilitasnya masihlah jeblok.
Survey CSIS atau Populi Center akhir Januari lantas tunjukkan, Ahok masihlah “seng ada” lawan, walau Pilkada baru bakal dikerjakan th. 2017 dengan kata lain satu tahun lagi dari saat ini.
Elektabilitas Ahok diatas 50 % dimana kompetitor paling dekat “hanya” 12 %, yakni Kang Emil sendiri.
Untuk orang yang memahami serta yakin cara riset ; survey, sigi atau jajak pendapat sejenis itu yaitu simulasi sebenarnya bila Pilkada dikerjakan sekarang ini, waktu riset berjalan. Namun janganlah sangat yakin angka-angka statistik.
Ingat pada Pilkada DKI Jakarta 2012 waktu dimana pasangan Jokowi-Ahok maju ke arena, diembuskanlah hasil survey spesifik yang “memastikan” Pilkada cuma bakal berjalan satu putaran dengan kemenangan di tangan pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli.
Kenyataannya Pilkada berjalan dua putaran dengan kemenangan pasangan Jokowi-Ahok.
Bila momen lima th. lantas dikira sebagai cermin, diatas kertas Ahok memanglah unggul serta hasil survey tunjukkan elektabilitasnya diatas beberapa kontestan lain.
Namun sekali lagi, ini bukanlah harga mati. Jadi, telah semestinya mencuat harapan beberapa kompetitor Ahok dengan lihat fakta lima th. lantas kalau survey dapat meleset.
Apa yang terjadi harapan beberapa kompetitor Ahok bila belum apa-apa nasibnya telah ditetapkan oleh angka-angka statistik hasil survey? Tidakkah tambah baik lempar handuk saja lantaran telah di pastikan Ahoklah yang akan keluar sebagai juaranya?
Rupanya tak sesederhana itu jawabannya. Siapa saja kontestan mesti berkeyakinan, angka tinggallah angka.
Ada kiat tersembunyi lain beberapa kompetitor yang bisa jadi akan menjungkirbalikkan perkiraan hasil survey tersebut. Kiat itu dapat politis, dapat pula nonpolitis.
Terbetik berita, sekian hari lantas belasan kemampuan lawan Ahok berkumpul merapatkan barisan. Maksudnya cuma satu, melawan Ahok lewat cara mengeroyok. Ini yaitu stategi politik untuk membendung Ahok.
Pikirkan saja, segerombol parpol bersekutu untuk menggalang satu kemampuan calon yang bahkan juga tak diusung satu parpol juga dengan kata lain Berdiri sendiri. Terakhir beredar berita parpol spesifik akan meminang Ahok.
Pertanyaannya, siapa pasangan dari segerombol parpol itu yang bakal disodorkan? Sesama parpol atau lintas parpol? Tidakkah ini punya potensi sama-sama rebutan dampak serta gontok-gontokkan tentang siapa yang lebih layak jadi pasangan pembendung Ahok?
Jikalau sukses mulus melepaskan pasangan, bagaimana elektabilitas mereka di mata warga DKI yang telah jadi melting pot di semua sendi kehidupan?
Aliansi lain untuk membendung Ahok yaitu dengan kiat gosip SARA ; suku, agama, ras, serta antargolongan. Langkah pembendungan ini masihlah dikira efisien mengingat Indonesia yaitu “negara Muslim” paling besar sejagat raya diliat dari prosentase penganutnya.
Namun bila memahami kalau pada Pilkada DKI 2012 lantas gosip SARA ini tidak berhasil meraih berhasil, kandidat manapun tak sudi jadi keledai yang terjerumus 2 x kedalam lubang yang sama.
Saksikan saja waktu debat antarcalon wakil gubernur dimana bertemu Ahok dengan kompetitornya. Yang berlangsung yaitu gurauan usang dengan menirukan rutinitas etnis Tionghoa saat lantas, “Haiyaaaaa….. Ahok” dengan lafal yang dicina-cinakan.
Terdengar lucu memanglah, namun lebih lucu lagi yaitu si kompetitor Ahok itu yang betul-betul tampak sebagai pelawak, bukanlah sebagai akan calon wakil gubernur. Langkah konyol jenis ini juga menjumpai jalan buntu.
Front pembela berbasiskan keagamaan juga telah gunakan tubuh, mengajak warganya yang seiman tidak untuk pilih Ahok, bahkan juga mungkin saja mengharamkannya. Walau sebenarnya, kampanye Pilkada belum diawali.
Belum lagi akan calon yang lain yang beretnis khas berteriak, satu diantara anggota pasangan –bakal calon gubernur atau wakilnya— mesti suku spesifik. Jadi sebenarnya, gosip SARA telah dimainkan dari saat ini.
Memanglah berat melawan Ahok, namun bukanlah bisa saja ditaklukkan. Petahana sejenis Ahok waktu kampanye program tinggal katakan “sudah melakukan”, sedang beberapa kompetitornya semakin lebih berat lagi menyampaikan “akan melakukan”.
“Sudah melakukan” berarti telah ada bukti, sedang “akan melakukan” masihlah berbentuk angan-angan serta belum ada bukti. Itu keuntungan Ahok sebagai petahana.
Mengalahkan Ahok dengan SARA? Tidakkah telah dapat dibuktikan pada saat kampanye Pilkada 2012 juga langkah tersebut jadi membuat malu sendiri? Harusnya beberapa kontestan sadar tidak untuk mengerjakannya lagi di Pilkada 2017 kelak!
Lantas, bagaimana caranya mengalahkan Ahok?
Tak lain lewat cara buka mata warga pemilih DKI Jakarta kalau apa yang dikerjakan Ahok “tidaklah seberapa” atau “belumlah apa-apa”.
Cukup demikian? Pasti tak. Sodorkan program-program (walau cuma berbentuk “akan”) untuk memperbaikinya serta perlihatkan dengan cara matematis kalau program Anda itu tambah baik dari yang pernah ada.
Jika memang perlu, tunjukkan bila program Ahok tidak berhasil keseluruhan, lantas janganlah lupa sodorkan jalan keluar atau langkah untuk memperbaikinya.
Diluar itu, optimis pada calon pemilih kalau program yang Anda punyai bakal melakukan perbaikan program Ahok yang tidak berhasil itu.
Optimis kalau Anda semakin lebih banyak lagi kembalikan jalur hijau yang disabot masyarakat, semakin lebih banyak bikin daerah resapan baru, semakin lebih banyak bangun tempat tinggal susun murah untuk rakyat, semakin lebih banyak bikin taman sebagai paru-paru kota, akan mengatur transportasi umum serta perlakuan banjir lebih mutakhir lagi dari yang sampai kini dikerjakan Ahok.
Pokoknya, buat program yang seumpamanya tak atau belum Ahok kerjakan, yang dikira dapat menangani masalah Jakarta lebih cepat dari yang di buat Ahok.
Dengan langkah tersebut, bisa jadi warga DKI yang miliki hak tentukan tertarik pada Anda serta selekasnya melupakan Ahok.
Satu modal lagi untuk menaklukkan Ahok, Anda mutlak mesti miliki nyali, berani serta tak korup atau sedikitnya belum pernah terindikasi korupsi.
Keberanian jadi barang langka mengingat “gubernur jenderal” yang pernah memimpin Jakarta juga kenyataannya tak seberani Ahok dalam melakukan tindakan serta lakukan eksekusi.
Nah, bila telah miliki modal “tiga dimensi” ini sebagai senjata simpanan plus program-program yang tambah baik dari yang Ahok kerjakan, Anda dapat menaklukkan Ahok serta jadi Gubernur DKI Jakarta yang akan datang.
Inilah berita yang bisa didapatkan Daftarsabungayam untuk para pembaca setia kami.
Salam admin Daftarsabungayam
Untuk pendaftaran silahkan isi data -data yang kami minta dibawah ini, apabila ada kesulitan anda bisa bertanya langsung di Live Chat, Terima kasih sudah mau bergabung dengan kami. bergabung dengan kami.